Jumat, 28 Januari 2011

TAN MALAKA

Pada 19 Februari 1949, Tan Malaka hilang di Kediri, Jawa Timur. Pada 1963, Presiden Soekarno mengangkat dia sebagai pahlawan nasional. Ironisnya, semasa Orde Baru, namanya dicoret dalam buku pelajaran sekolah walau tetap hidup dalam wacana intelektual di dalam dan luar negeri. Tan Malaka pernah berujar di depan polisi Hongkong yang menangkapnya pada 1927: "Di dalam kubur, suaraku akan terdengar lebih keras."

Hampir seluruh hidupnya diserahkan kepada perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Pada 1925, di Canton, China, dia mencetak buku tentang konsepsi Negara Indonesia dalam bahasa Belanda berjudul Naar de Repoeblik Indonesia. Dia melakukan gerakan di Bangkok, Manila, Amoy, Hongkong, Shanghai, Rangon, Singapura, dan pernah bekerja sama dengan Sun Yat Sen dan Ho Chi Minh.

Soekarno sangat mengagumi Tan Malaka sehingga dalam suasana kritis pascaproklamasi, Tan Malaka adalah salah seorang yang ditunjuk sebagai pemimpin bangsa bila Soekarno-Hatta ditangkap Belanda. Beberapa tahun kemudian, testamen tersebut, menurut Sajoeti Melik, jatuh ke tangan D.N. Aidit. Aidit menunjukkannya kepada Soekarno. Soekarno merobek-robeknya, lalu membakarnya.

Dengan demikian, berakhirlah kontroversi tentang Testamen Politik Soekarno tersebut. Ini berbeda dengan Supersemar yang keberadaan naskah aslinya belum diketahui sampai sekarang.


Persatuan Perjuangan

Setelah kemerdekaan diproklamasikan, terdapat dua model perjuangan untuk menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, yaitu berunding atau mengadakan perlawanan bersenjata. Pemerintahan Sjahrir memilih jalan yang pertama, sedangkan Tan Malaka memiliki visi yang berbeda, yaitu melakukan revolusi total.

Kelambanan pemerintah Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan revolusi merupakan salah satu penyebab banyak pemuda, lasykar, dan massa mendukung pandangan Tan Malaka tersebut. Awal 1946, terbentuklah Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 organisasi politik, lasykar, dll, termasuk partai politik seperti Masyumi dan PNI.

Dalam pembentukannya di Purwokerto, Tan Malaka menyampaikan pidato tentang pentingnya persatuan untuk mencapai kemerdekaan 100 persen, yang kemudian menjadi program pertama gerakan tersebut ("Berunding atas Pengakuan Kemerdekaan 100 Persen"). Dalam Persatuan Perjuangan, antara lain, duduk sebagai anggota subkomite Jenderal Sudirman yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat).

Pada 17 Maret 1946, tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan seperti M. Yamin ditangkap. Kemudian, seorang perwira bernama Abdul Kadir Jusuf dengan sepengetahuan atasannya, Mayor Jenderal Sudarsono, menculik PM Sjahrir (27 Juni 1946) karena dianggap mengkhianati revolusi melalui perundingan dengan Belanda yang merugikan Indonesia (Alfian, 1978). Konflik antara kelompok Sjahrir dan kubu Tan Malaka semakin meruncing.

Kemudian, pecah peristiwa 3 Juli 1946, yang menurut versi resmi pemerintah RI, adalah usaha perebutan kekuasaan oleh kelompok Persatuan Perjuangan. Menurut Anderson pada 2 Juli 1946, overste Soeharto ikut membebaskan tahanan politik di penjara Wirogunan, Jogjakarta, seperti M. Yamin, Iwa Kusumasoemantri, dan Dr Sucipto, lalu membawanya ke markas resimen Wiyoro.

Di sini sudah ada Mayjen Sudarsono. Di tempat inilah, para pengikut Tan Malaka itu menyusun suatu maklumat politik yang isinya seolah-olah Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan (Tan Malaka sendiri waktu itu dipenjara dan tampaknya usaha ini tanpa sepengetahuannya).

Kemudian, pada 3 Juli, maklumat itu dibawa ke istana agar ditandatangani Presiden Soekarno. Usaha itu gagal, diam-diam Soeharto melaporkannya ke istana. Kelompok ini berhasil ditangkap pengawal presiden. Menurut Ben Anderson, pembuatan maklumat politik itu mengilhami Soeharto yang mencobanya kembali pada kesempatan lain dengan cara yang lebih canggih.

Peristiwa 3 Juli 1946 dan Front Perjuangan memang perlu ditulis kembali dan dimasukkan dalam kurikulum sekolah.

Akhirnya, apa spirit atau gagasan Tan Malaka yang sesuai dengan perjuangan masa kini. Paling tidak, semangat untuk berpikir logis sangat dibutuhkan sekarang agar kita dapat memecahkan krisis berkepanjangan yang melanda negeri ini. Itulah yang menjadi inti buku Tan Malaka Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).

Pemikiran untuk "berunding setelah ada pengakuan kemerdekaan 100 persen" masih relevan sampai hari ini. Apakah dalam perundingan dengan pihak asing -seperti para peminjam utang- kita telah mendesakkan prinsip pengakuan kemerdekaan 100 persen ini.

Apakah kita berada dalam kedudukan sederajat dengan mereka sehingga tidak didikte seperti semasa Orde Baru? Negeri ini hampir tenggelam oleh utang. Perlu sikap tegas dari pemerintah Indonesia. Sebagian besar utang itu termasuk utang najis -meminjam istilah yang dikemukakan mantan Menteri Keuangan Rusia Alexander Sack di Paris tahun 1927.

Yang tidak kalah berharganya ialah pemikiran untuk menentang feodalisme. "Perubahan cara berpikir atau tepatnya perubahan mental adalah kata kunci atau fundamental bagi Tan Malaka", seperti ditulis Alfian. Dapatkah kita mengikis mentalitas feodal itu?

Setelah 62 tahun meninggal, seyogianya status kepahlawanannya dipulihkan, dalam arti, dia dicatat dalam buku pelajaran sekolah. Agar masyarakat dapat mengenang jasanya. 


Source: Various sources

Tidak ada komentar:

Posting Komentar